Kamis, 29 Juli 2010
Tirta Pingit di Pohon Bambu
* Tirta Pingit di Pohon Bambu
Dalam berbagai sumber lontar atau prasasti kuno, ada tiga pura besar yang sering disebut selain Besakih dan Ulun Danu Batur, yakni Pura Lempuyang. Pura Lempuyang Luhur terletak di puncak Bukit Bisbis atau Gunung Lempuyang, Karangasem. Pura ini diduga termasuk paling tua di Bali. Bahkan, diperkirakan sudah ada pada zaman pra-Hindu-Buddha yang semula bangunan suci yang terbuat dari batu. Pura Lempuyang itu merupakan stana Hyang Gni Jaya atau Dewa Iswara. Bagaimana cikal bakal berdirinya Pura Lempuyang?
ADA sebuah informasi berdasarkan pemotretan dari angkasa luar, di ujung timur Pulau Bali muncul sinar yang amat terang. Paling terang dibandingkan bagian lainnya. Namun tak diketahui pasti dari kawasan mana sinar itu, tetapi diduga dari Gunung Lempuyang.
Soal arti dari Lempuyang, ada berbagai versi. Dalam buku terbitan Dinas Kebudayaan Bali (1998) berjudul ''Lempuyang Luhur'' disebutkan, lempuyang berasal dari kata ''lampu'' artinya sinar dan ''hyang'' untuk menyebut Tuhan, seperti Hyang Widhi. Dari kata itu lempuyang atau lampuyang diartikan sinar suci Tuhan yang terang-benderang (mencorong/menyorot). Pura Lempuyang itu merupakan stana Hyang Gni Jaya atau Dewa Iswara.
Versi lain menilik ''lempuyang'' sebagai sebuah kata yang berdiri sendiri. Di Jawa lempuyang itu menunjuk sejenis tanaman untuk bumbu. Hal itu juga dikaitkan ada banjar di sekitar Lempuyang bernama Bangle dan Gamongan, keduanya juga tanaman sejenis yang bisa dipakai obat atau bumbu. Versi lain juga menyebut dari kata ''empu'' atau ''emong'' yang diartikan menjaga. Batara Hyang Pasupati mengutus tiga putra-putrinya turun untuk mengemong guna menjaga kestabilan Bali dari berbagai gunjangan bencana alam. Ketiga putra-putri itu yakni Bathara Hyang Putra Jaya berstana di Tohlangkir (Gunung) Agung dengan parahyangan di Pura Besakih, Batari Dewi Danuh berstana di Pura Ulun Danu Batur dan Batara Hyang Gni Jaya di Gunung Lempuyang.
Namun, apa pun versi dari lempuyang itu, Pura Lempuyang sendiri memiliki status yang sangat besar, sama seperti Besakih. Baik dalam konsep padma buwana, catur loka pala atau pun dewata nawa sanga. Dalam berbagai sumber lontar atau prasasti kuno, ada tiga pura besar yang sering disebut selain Besakih dan Ulun Danu Batur yakni Lempuyang.
Pura Lempuyang Luhur yang terletak sangat tinggi di puncak Bukit Bisbis atau Gunung Lempuyang itu, diduga termasuk pura paling tua di Bali. Bahkan, diperkirakan sudah ada pada zaman pra-Hindu-Buddha yang semula bangunan suci yang terbuat dari batu.
Pada sekitar tahun 1950 di tempat didirikannya Pura Lempuyang Luhur kini, baru ada tumpukan batu dan sanggar agung yang dibuat dari pohon. Di bagian timur berdiri sebuah pohon sidhakarya besar yang kini sudah tak ada diduga tumbang atau mati. Barulah pada 1960 dibangun dua padma kembar, sebuah padma tunggal bale piyasan. Kini, pemugaran dan pemugaran pura kian meningkat.
Mengutif sejumlah sumber kuno, Jero Mangku Gede Wangi -- pemangku di pura itu -- mengatakan orang Bali apa pun wangsanya tak boleh melupakan pura ini. Paling tidak sekali waktu menyempatkan diri tangkil sembahyang ke pura ini. Sebab, jika tidak pernah atau lupa memuja Tuhan yang manifestasinya berstana di pura ini, selama hidup bisa tak pernah menemukan kebahagiaan, kerap cekcok dengan keluarga atau masyarakat dan bahkan pendek umur.
Kewajiban masyarakat Bali untuk memuja Batara Hyang Gni Jaya di Lempuyang Luhur disebutkan dalam bhisama Hyang Gni Jaya yang tertulis dalam lontar Brahmanda Purana sebagai berikut: ''Wastu kita wong Bali, yan kita lali ring kahyangan, tan bakti kita ngedasa temuang sapisan, ring kahyangan ira Hyang Agni Jaya, moga-moga kita tan dadi jadma, wastu kita ping tiga kena saupa drawa.''
Jero Mangku Gede Wangi mengatakan, untuk memulai belajar ilmu pengetahuan, apalagi ilmu keagamaan Hindu, sangat baik jika dimulai dengan mohon restu di Pura Lempuyang Luhur. Selain itu, banyak pejabat suka bertirtayatra ke pura ini.
Jero Mangku Gede Wangi menyampaikan, di Pura Lempuyang Luhur terdapat tirta pingit di pohon bambu yang tumbuh di areal Pura Luhur. Saat umat nunas tirta, pemangku pura usai ngaturang panguning akan memotong sebuah pohon bambu. Air suci/tirta dari pohon bambu itu di-pundut untuk muput berbagai upacara, kecuali manusa yadnya. ''Siapa pun tak boleh berbuat buruk seperti campah di pura, jika tak ingin kena marabahaya,'' ujar Jero Mangku.
Pengayah
Saat pujawali tak terlalu besar pengayah. Biasanya dari Desa Pakraman Purwayu saja. Namun, jika pujawali besar seperti Batara Turun Kabeh dan Batara Masucian ke Segara, pengayah turun dari enam desa pakraman di sekitarnya, seperti Purwayu, Segeha, Basangalas, Ngis, Tista dan Gulinten.
Pada pujawali, pengayah ngamedalang Ida Batara dari pasimpenan di dekat areal parkir pertama. Ida Batara kapundut teruna (pemuda) dan krandan (remaja putri). Sebelum ngayah, mereka mesti mabyakawon (mensucikan diri) di areal Pura Pesimpenan. Ida Batara kairing ke bale piasan Pura Penataran untuk mahias, lalu masucian ke Pura Telaga Mas, kairing munggah ke Pasar Agung dan masandekan sebentar. Berikutnya, barulah kairing ke Luhur dan kalinggihang, kaaturan panyejer tiga hari. Pujawali tiap enam bulan yakni puncaknya pada Wraspati Umanis Dunggulan. * gde budana
Langgar Pantangan, Bisa ''Sengkala''
ADA sejumlah pantangan yang jika dilanggar bisa berakibat buruk. Saat naik ke Lempuyang Luhur, kata Jero Mangku Gede Wangi, sejak awal pikiran, perkataan dan perbuatan harus disucikan. Tak boleh berkata kasar saat perjalanan.
Selain itu, orang cuntaka, wanita haid, menyusuai, anak yang belum tanggal gigi susu sebaiknya jangan dulu masuk pura atau bersembahyang ke pura setempat. Jero Mangku mengatakan, pernah ada rombongan orang sembahyang naik Isuzu dari Negara. Rupanya, sebelum ke Lempuyang rombongan itu melayat orang meninggal lebih dahulu. Mobil rombongan itu pun jatuh terperosok karena tak bisa naik di tanjakan sebelah atas rumah Mangku Pasek. ''Saya dengar salah seorang rombongan sudah mencegah agar jangan langsung ke Pura Lempuyang, tetapi saran itu tak gubris,'' ujar Jero Mangku.
Selain sejumlah larangan itu, juga umat yang hendak ke Lempuyang Luhur juga tidak diperkenankan membawa perhiasan emas. Soalnya, umat yang menggunakan perhiasan emas, perhiasan itu kerap hilang misterius. ''Membawa atau makan daging babi saat ke Lempuyang Luhur juga sebaiknya tak dilakukan, karena daging babi itu terbilang cemer. Pantangan ke Pura Lempuyang, hampir sama dengan ke Pura Luhur Batukaru,'' kata lulusan APGAH ini.
Jero Mangku mengatakan, masyarakat dan umat yang naik ke Gunung Lempuyang diharapkan tak berbuat buruk, seperti mengambil tanaman, melakukan corat-coret di jalan atau di pura. ''Sampah terutama sampah plastik hendaknya dibawa atau dibuang di tong sampah yang tersedia. Berbakti kepada Tuhan bukan cuma lewat sembahyang, tetapi juga dengan jalan karma marga seperti menjaga kebersihan lingkungan alam atau pura,'' katanya.
Jero Mangku mengatakan, belum pernah ada orang yang menghitung pasti berapa sebenarnya jumlah tangga naik ke Pura Luhur yang berketinggian lebih dari 1.174 meter. Ada yang mengatakan 1.750 tangga, ada juga yang mengatakan 1.800.
Sementara itu, dosen STKIP Agama Hindu Amlapura Drs. IP Arnawa, S.Ag. M.Si. mengatakan, cuma bersembahyang --insidental -- ke Pura Lempuyang Luhur disebutkan tak harus melakukan pelukatan saat masuk pura. Soalnya, selain ke Lempuyang Luhur umat bisa melukat di pesucian Telaga Mas, saat naik menuju Pura Luhur yang tinggi berbagai kotoran tubuh juga berangsur disucikan. Soalnya, ribuan kali menghela napas seperti saat pranayama, keringat keluar. ''Sembahyang sampai ke Pura Lempuyang Luhur merupakan pendakian spiritual. Umat yang benar-benar niatnya kuat dilandasi Tri Kaya Pasisudha yang mampu dengan mudah mampu mencapai Pura Luhur. Jika ragu-ragu atau tak tulus bisa terjadi halangan, seperti kepayahan bahkan terjatuh di jalan,'' ujar Arnawa.
Empat Jalur
Sesungguhnya ada empat jalur/rute untuk mencapai Pura Lempuyang Luhur. Berdasarkan buku yang disusun Dinas Kebudayaan Bali (1998), bisa lewat Desa Purwayu. Dari rute ini bisa melewati Pura Penyimpenan, Penataran Agung, Telaga Mas, Pasar Agung barulah ke Lempuyang Luhur.
Dari jalur melewati Banjar Gamongan, melewati Pura Lempuyang Madya, terus naik ke Pura Telaga Sawang dan Pura Pasar Agung. Sementara dari Banjar Batu Gunung, Desa Bukit melewati Pura Angrekasari, melewati lokasi Tirta Suniamerta, Tirta Jagasatru, Tirta Manik Ambengan, Pura Penataran Silawana Hyangsari, Tirta Sudamala, Tirta Empul, Pura Windusari, Pura Pasar Agung (panyawangan) terus ke Lempuyang Luhur. Jalur terakhir melewati Banjar Jumenang, melewati Pura Penataran Kenusut, Pura Pasar Agung (penyawangan) dan naik ke Lempuyang Luhur. (bud)
Sejarah Pura Lempuyang
Dalam konsep Dewata Nawa Sanga (Sembilan Dewata yang menguasai sembilan mata angin), pura ini merupakan sthana Dewa Iswara. Pura ini dibagi menjadi tiga mandala dari bawah ke atas yakni Lempuyang Sor, Lempuyang Madya dan Lempuyang Luhur. Dari ketiganya, pura Lempuyang Luhur berada pada posisi yang tertinggi.
Berdasarkan lontar Markandeya Purana, Pura Lempuyang didirikan oleh Rsi Markandeya sekitar abad ke-8 M. Pada saat itu Rsi Markandeya membuat sebuah pesantrian untuk keperluan persembahyangan sekaligus membabarkan ajaran Hindu. Pesantrian tersebut diperkirakan berada pada lokasi Pura Lempuyang Madya saat ini, di mana di sini beliau dikenal sebagai Bhatara Gnijaya.
Hingga saat ini masih sangat sulit untuk mengungkapkan sejarah Pura Lempuyang secara jelas. Soalnya data-data yang kuat sukar didapatkan. Sejauh ini baru diperoleh data-data mengenai Pura Lempuyang Luhur. Itu pun sifatnya tidak langsung. Dari sumber-sumber tersebut, ada dua hal yang sama-sama disebutkan yaitu Gunung Lempuyang dan Sang Hyang Gnijaya. Di dalam bahsa Jawa kata Lempuyang berarti gamongan gunung Lempuyang berarti gunung gamongan atau bukit gamongan sebagaimana disebutkan dalam sumber lainnya lagi yakni lontar Kusuma Dewa. Yang pasti, berbagai sumber kuno menyebutkan bahwa pura Lempuyang merupakan satu dari tiga pura besar selain pura Besakih dan Pura Ulun Danu Batur.
Ada sejumlah pantangan memasuki pura ini. Pantangan yang jika dilanggar bisa berakibat buruk. Pantangan tersebut adalah berkata kasar saat dalam perjalanan menuju pura Lempuyang Luhur.
Selain itu, perempuan yang sedang menstruasi, menyusui, anak yang belum tanggal gigi susu belum diperbolehkan masuk ke dalam pura apalagi bersembahyang di sana dan juga bagi umat yang hendak bersembahyang tidak diperkenankan membawa perhiasan emas dan membawa daging babi ke areal Pura Lempuyang Luhur.
Satu yang menarik dan merupakan keistimewaan Pura Lempuyang Luhur adalah di tengah pura tersebut terdapat serumpun bambu jenis kecil. Setelah bersembahyang, batang pohon bambu itu dipotong oleh Pemangku untuk mendapatkan air suci yang disebut dengan tirtha pingit. (jjb)
Sejarah Pura Besakih
Sementara itu, sebuah cerita kuno menyebutkan bahwa pura Besakih dibangun oleh Rsi Markandya dan pengikutnya sekitar abad ke-11. Pada waktu itu, Rsi Markandya ingin pergi ke Gunung Agung untuk membangun tempat peristirahatan. Namun, proses pembangunannya tertunda karena banyak dari para pengikutnya yang meninggal dunia. Melihat hal itu, maka Rsi Markandya kemudian membuat sebuah tempat pemujaan terhadap Tuhan sebagai penyelamat . Tempat pemujaan itu kemudian disebut sebagai “sanggar Basuki”. Banyaknya peninggalan zaman megalitik seperti Menhir, tahta batu, dan struktur teras pyramid yang ditemukan di area pura Besakih menunjukkan bahwa tempat ini adalah tempat yang amat disucikan jauh sebelum adanya pengaruh agama Hindu masuk ke Bali. Kompleks pura Besakih terdiri dari satu pura pusat (pura penataran agung besakih) dan 18 pura pendamping (1 pura Basukian dan 17 pura lainnya). Di pura Basukian inilah tempat pertama kalinya Rsi Markandya menerima wahyu Tuhan, hal inilah yang kemudian menjadi cikal bakal agama Hindu Dharma di Bali. Pura Besakih merupakan pusat kegiatan dari seluruh pura yang ada di Bali, di antara semua pura-pura yang termasuk dalam kompleks pura Besakih, pura penataran agung adalah pura yang terbesar yang paling banyak memiliki bangunan palinggih, dan jenis upacara. Selain itu, Pura penataran Agung ini pun merupakan pusat dari semua pura yang ada di kompleks pura Besakih. Di tempat ini terdapat 3 padma sebagai simbol stana dari sifat Tuhan Tri Murti yaitu dewa Brahma (dewa pencipta), dewa Wisnu (dewa Pemelihara), dan dewa Siwa (dewa pelebur/ reinkarnasi).(gi)
Sejarah Pura Tanah Lot
Sejarah pulau ini tak lepas dari pendirinya yakni Danghyang Nirarta, seorang baghawan dan resi sakti yang berasal dari kerajaan Majapahit. Beliau dikenal karena menyebarkan ajaran agama Hindu ke Bali atau dikenal sebagai “Dharma Yatra”. Pertama kali beliau datang ke Bali sampai di Rambut Siwi, dan saat berada sana, tiba – tiba ia melihat cahaya sinar suci yang muncul dari arah tenggara, sehingga ia pun mencari cahaya tersebut. Dan ternyata cahaya tersebut berasal dari sebuah mata air. Dan ia juga menemukan sebuah tempat yang sangat indah yang ia beri nama “Gili Beo” yang artinya batu karang. Dan mulailah ia bersemedi di tempat itu dan memulai penyebaran agama Hindu di kalangan penduduk yang saat itu masih monotheisme.
Daerah yang ia tempati bernama desa Beraban., dan dikuasai oleh seorang pemimpin yang sakti bernama Bendesa Beraban Sakti. Dan karena Resi Danghyang Nirarta mengajak penduduk desa itu untuk memeluk agama Hindu sang pemimpin akhirnya marah dan berusaha mengusir baghawan ini. Sang resi yang tidak mau terjadi pertumpahan darah akhirnya melindungi diri dengan memindahkan tanah berkarang ke tengah lautan dan ia membuat perlindungan dengan menciptakan banyak sekali ular dari selendangnya.
Melihat kesaktian dari sang baghawan , Bendesa Beraban Sakti akhirnya mengalah dan menjadi pengikut setia Danghyang Nirarta. Dan bahkan ikut menyebarkan agama hindu ke desa – desa lain juga. Dan sebelum meninggalkan desa tersebut ia meninggalkan warisan yang berupa keris yang deberi nama “ Jaramenara/ Ki Baru Gajah” dan pulau karang tempat ia melindungi diri tersebut ia beri nama “Tengah Lot’ yang berarti tanah di tengah laut.para penduduk yang menghormati beliau akhirnya membangun sebuah pura yang sekarang dikenal sebagai Pura Agung Tanah Lot.
Dan kalau anda datang ke tempat ini anda akan menemukan sebuah fenomena alam yang menarik dimana di bawah kaki pura yang dikelilingi samudra luas dengan airnnya yang asin, terdapat sumber mata air yang berasa tawar, dan tidak pernah kering meskipun musim kemarau. Mata air keramat yang ditemukan sang Resi Danghyang Nirarta inilah yang dikeramatkan oleh pemeluk agama hindu dan setiap pengunjung bisa juga meminta airnya dengan cara mencuci muka di Tanah Lot atau meminum airnya yang menyegarkan.
Dan ular – ular yang pernah melindungi sang resi masih tetap berada di sana sampai sekarang dan dipercaya melindungi Tanah lot. Anda bisa juga menyentuh tubuh ular sakti penjaga Tanah Lot yang dijaga di lubangnya oleh pemangku adat setempat.
Sejarah Pura Rambut Siwi
Sumber : Guru Made Dwijwndra Sulastra.
Pesraman : Teledu Nginyah - Jembrana.
Jumat, 18 Desember 2009
Proposal Candi Bentar Pura Kerta Bumi
P R O P O S A L
PEMBANGUNAN CANDI BENTAR
PURA KERTA BUMI DUSUN BONGSO WETAN, DESA PENGALANGAN KECAMATAN MENGANTI, KABUPATEN GRESIK JAWA TIMUR
Sekretariat:
Pura Kerta Bumi
Dusun Bongso Wetan, Desa Pengalangan, Kecamatan Menganti, Kabupaten Gresik
Telp. (031) 7407218
HP: (031) 71047941, 08580397777
BAB I
LATAR BELAKANG PURA KERTA BUMI
Pura Kerta Bumi telah mengalami pembangunan secara bertahap demi sempurnanya suatu tempat ibadah ini, namun karena belum tersedianya dana yang cukup untuk melaksanakan konstruksi / pembangunan / penyempurnaan maka pembangunan pura mengalami hambatan. Melalui proposal ini, segenap Panitia Pembangunan Pura khususnya dan seluruh umat hindu Dusun Bongso Wetan pada umumnya bermaksud menggalang dana punia kepada seluruh saudara-saudara / komponen umat Hindu maupun para donatur lainnya untuk dapat memberikan bantuan demi kelancaran pembangunan ini.
Atas Asung Kertha Wara Nugraha Ida Hyang Widhi Wasa semoga niat yang luhur ini mendapat pertolongan dari semua pihak dalam mencapai tujuan yang mulia.
BAB II
TUJUAN DAN SASARAN
II.1. Tujuan Pembangunan dan Penyempurnaan Pura
Dengan adanya tempat suci / tempat ibadah (Pura) yang lengkap dimaksudkan supaya umat hindu khususnya di Dusun Bongso Wetan dapat meningkatkan Sradha dan Bhakti kepada Ida Hyang Widhi Wasa.
II.2. Sasaran Pembangunan dan Penyempurnaan Pura
1). Terwujudnya pembinaan keagamaan yang baik melalui pura terhadap masyarakat Hindu, siswa-siswi, karyawan, dan guru agama Hindu sekaligus sebagai sarana komunikasi sosial agama.
2). Terwujudnya sarana kegiatan dharma, kesenian, upanisad keagamaan dan sebagainya yang dapat memperkuat sradha dan bhakti serta cinta terhadap Ida Hyang Widhi Wasa.
BAB III
ORGANISASI KEPANITIAAN
III.1. Susunan Kepanitiaan
A. Pelindung
Parisada Hindu Dharma Indonesia Kabupaten Gresik
B. Penasehat
1. Sardji
2. Drs. Mulyadi, M.Si
3. Satiman
C. Panitia Inti
Ketua : Matasim
Wakil ketua : Wongso Negoro, SE., SH., M.Si
Sekretaris : Karsiyan
Bendahara : Asno
Susunan lengkap kepanitiaan dapat dilihat pada halaman lampiran.
PENUTUP
Demikian proposal singkat ini disusun untuk keperluan yang berkaitan dengan pembangunan penyempurnaan Pura Kerta Bumi, Dusun Bongso Wetan, Desa Pengalangan, Kecamatan Menganti, Kabupaten Gresik, Jawa Timur. Semoga proposal ini meskipun sederhana dapat memberikan informasi awal yang diperlukan untuk sekedar gambaran mengenai rencana pembangunan pura yang sangat kami perlukan.
Gresik, 28 Nopember 2009
Hormat Kami,
Panitia Pembangunan Candi Bentar
Matasim
Ketua
Mengetahui,
Ketua Parisada Desa Pengalangan Ketua Parisada Kecamatan Menganti
Suhanadi Sa’i
Ketua Ketua
Parisada Kabupaten Gresik
Ketut Ariasna
Ketua
REKAPITULASI ANGGARAN PEMBANGUNAN CANDI BENTAR
PURA KERTA BUMI
DUSUN BONGSO WETAN, DESA PENGALANGAN
KECAMATAN MENGANTI, KABUPATEN GRESIK
JAWA TIMUR
No. | Keterangan | Anggaran (Rp) |
1. | Pondasi Candi Bentar | Rp. 50.000.000,- |
2. | Candi Bentar tinggi 7 meter | Rp. 150.000.000,- |
3. | Padaraksa | Rp. 50.000.000,- |
4. | Tembok Penyengker | Rp. 30.000.000,- |
Total Anggaran | Rp. 280.000.000,- |
Gresik, 28 Nopember 2009
Hormat Kami,
Panitia Pembangunan Candi Bentar
Matasim
Ketua
Dharma Yatra Yayasan Padma Siwa Buana
Dalam perjalanan kali ini diikuti oleh Ida Pedanda Oka Telabah Serta Ida Pedanda istri. Dalam Kegiatan nanti setelah sembahyang di Gunung Bromo, akan dilanjutkan ke Pura di Gersik. Di Pura Ini akan dilangsungkan prosesi pembersihan angga sarira, yang ana dalam prosesi ini akan bermanfaat sekali bai umat yang pernah mengalami cuntaka atau kegeringan ( Sakit ), dengan upacara pembersihan angga sarora ini mudah - mudahan para peserta/ umat yang mengikutinya mendapatkan ketengan jiwa, sehingga dapat dengan mudah isa mendekat diri dengan Ida Sanghyang Widi Wase, Hal ini jarang orang bisa melakukannya, karena lontar - lontar yang menyebutkan prosesi ini jarang yang memilikinya. Bagi umat yang berminat selain dalam kesempatan ini, kami dari Yayasan Padma Siwa Buana, bersedia membantu umat membersihkan angga sarira dari kejauhan , dengan terlebih dahulu menghubungi kami leawat E- mail.
Hal ini akan sangat bermanfaat sekali bagi umat yang tidak memilii keseimbangan jiwa, karena dari hasil pengalaman banyak sekali yang berhasil setelah mendapat mimbingan spiritual semacam ini. Dalam mengukuti prosesi ini umat diharapkan :lascrya : atau berserah diri, kemudian yakinkan diri anda segala permasalahan yang anda hadapi dapat terselesaikan.
Upakara dalam pembersihan angga sarira, hanya memerlukan Banten penyepuhan dan kelapa gading ( bungkak nyuh gading ) dan air suci. Untuk menekan biaya upacara ini bisa dilakukan secara masal'
Mudah - mudahan tidak ada hal - hal yang nerintangi, kami akan lakukan acara seprti ini sebulan sekali, di pesrsmsn, atau pura - pura yang ada di Bali,
Semakin sering melakukan pembersihan angga sarirs. semakin baik angga sarra kit, sehingga sedikit demi sedikit, karma/ dosa kita bisa terhapuskan.