Kamis, 29 Juli 2010

Tirta Pingit di Pohon Bambu

Pura Lempuyang, ''Stana'' Dewa Iswara
* Tirta Pingit di Pohon Bambu

Dalam berbagai sumber lontar atau prasasti kuno, ada tiga pura besar yang sering disebut selain Besakih dan Ulun Danu Batur, yakni Pura Lempuyang. Pura Lempuyang Luhur terletak di puncak Bukit Bisbis atau Gunung Lempuyang, Karangasem. Pura ini diduga termasuk paling tua di Bali. Bahkan, diperkirakan sudah ada pada zaman pra-Hindu-Buddha yang semula bangunan suci yang terbuat dari batu. Pura Lempuyang itu merupakan stana Hyang Gni Jaya atau Dewa Iswara. Bagaimana cikal bakal berdirinya Pura Lempuyang?

ADA sebuah informasi berdasarkan pemotretan dari angkasa luar, di ujung timur Pulau Bali muncul sinar yang amat terang. Paling terang dibandingkan bagian lainnya. Namun tak diketahui pasti dari kawasan mana sinar itu, tetapi diduga dari Gunung Lempuyang.

Soal arti dari Lempuyang, ada berbagai versi. Dalam buku terbitan Dinas Kebudayaan Bali (1998) berjudul ''Lempuyang Luhur'' disebutkan, lempuyang berasal dari kata ''lampu'' artinya sinar dan ''hyang'' untuk menyebut Tuhan, seperti Hyang Widhi. Dari kata itu lempuyang atau lampuyang diartikan sinar suci Tuhan yang terang-benderang (mencorong/menyorot). Pura Lempuyang itu merupakan stana Hyang Gni Jaya atau Dewa Iswara.

Versi lain menilik ''lempuyang'' sebagai sebuah kata yang berdiri sendiri. Di Jawa lempuyang itu menunjuk sejenis tanaman untuk bumbu. Hal itu juga dikaitkan ada banjar di sekitar Lempuyang bernama Bangle dan Gamongan, keduanya juga tanaman sejenis yang bisa dipakai obat atau bumbu. Versi lain juga menyebut dari kata ''empu'' atau ''emong'' yang diartikan menjaga. Batara Hyang Pasupati mengutus tiga putra-putrinya turun untuk mengemong guna menjaga kestabilan Bali dari berbagai gunjangan bencana alam. Ketiga putra-putri itu yakni Bathara Hyang Putra Jaya berstana di Tohlangkir (Gunung) Agung dengan parahyangan di Pura Besakih, Batari Dewi Danuh berstana di Pura Ulun Danu Batur dan Batara Hyang Gni Jaya di Gunung Lempuyang.

Namun, apa pun versi dari lempuyang itu, Pura Lempuyang sendiri memiliki status yang sangat besar, sama seperti Besakih. Baik dalam konsep padma buwana, catur loka pala atau pun dewata nawa sanga. Dalam berbagai sumber lontar atau prasasti kuno, ada tiga pura besar yang sering disebut selain Besakih dan Ulun Danu Batur yakni Lempuyang.

Pura Lempuyang Luhur yang terletak sangat tinggi di puncak Bukit Bisbis atau Gunung Lempuyang itu, diduga termasuk pura paling tua di Bali. Bahkan, diperkirakan sudah ada pada zaman pra-Hindu-Buddha yang semula bangunan suci yang terbuat dari batu.

Pada sekitar tahun 1950 di tempat didirikannya Pura Lempuyang Luhur kini, baru ada tumpukan batu dan sanggar agung yang dibuat dari pohon. Di bagian timur berdiri sebuah pohon sidhakarya besar yang kini sudah tak ada diduga tumbang atau mati. Barulah pada 1960 dibangun dua padma kembar, sebuah padma tunggal bale piyasan. Kini, pemugaran dan pemugaran pura kian meningkat.

Mengutif sejumlah sumber kuno, Jero Mangku Gede Wangi -- pemangku di pura itu -- mengatakan orang Bali apa pun wangsanya tak boleh melupakan pura ini. Paling tidak sekali waktu menyempatkan diri tangkil sembahyang ke pura ini. Sebab, jika tidak pernah atau lupa memuja Tuhan yang manifestasinya berstana di pura ini, selama hidup bisa tak pernah menemukan kebahagiaan, kerap cekcok dengan keluarga atau masyarakat dan bahkan pendek umur.

Kewajiban masyarakat Bali untuk memuja Batara Hyang Gni Jaya di Lempuyang Luhur disebutkan dalam bhisama Hyang Gni Jaya yang tertulis dalam lontar Brahmanda Purana sebagai berikut: ''Wastu kita wong Bali, yan kita lali ring kahyangan, tan bakti kita ngedasa temuang sapisan, ring kahyangan ira Hyang Agni Jaya, moga-moga kita tan dadi jadma, wastu kita ping tiga kena saupa drawa.''

Jero Mangku Gede Wangi mengatakan, untuk memulai belajar ilmu pengetahuan, apalagi ilmu keagamaan Hindu, sangat baik jika dimulai dengan mohon restu di Pura Lempuyang Luhur. Selain itu, banyak pejabat suka bertirtayatra ke pura ini.

Jero Mangku Gede Wangi menyampaikan, di Pura Lempuyang Luhur terdapat tirta pingit di pohon bambu yang tumbuh di areal Pura Luhur. Saat umat nunas tirta, pemangku pura usai ngaturang panguning akan memotong sebuah pohon bambu. Air suci/tirta dari pohon bambu itu di-pundut untuk muput berbagai upacara, kecuali manusa yadnya. ''Siapa pun tak boleh berbuat buruk seperti campah di pura, jika tak ingin kena marabahaya,'' ujar Jero Mangku.

Pengayah

Saat pujawali tak terlalu besar pengayah. Biasanya dari Desa Pakraman Purwayu saja. Namun, jika pujawali besar seperti Batara Turun Kabeh dan Batara Masucian ke Segara, pengayah turun dari enam desa pakraman di sekitarnya, seperti Purwayu, Segeha, Basangalas, Ngis, Tista dan Gulinten.

Pada pujawali, pengayah ngamedalang Ida Batara dari pasimpenan di dekat areal parkir pertama. Ida Batara kapundut teruna (pemuda) dan krandan (remaja putri). Sebelum ngayah, mereka mesti mabyakawon (mensucikan diri) di areal Pura Pesimpenan. Ida Batara kairing ke bale piasan Pura Penataran untuk mahias, lalu masucian ke Pura Telaga Mas, kairing munggah ke Pasar Agung dan masandekan sebentar. Berikutnya, barulah kairing ke Luhur dan kalinggihang, kaaturan panyejer tiga hari. Pujawali tiap enam bulan yakni puncaknya pada Wraspati Umanis Dunggulan. * gde budana

Langgar Pantangan, Bisa ''Sengkala''

ADA sejumlah pantangan yang jika dilanggar bisa berakibat buruk. Saat naik ke Lempuyang Luhur, kata Jero Mangku Gede Wangi, sejak awal pikiran, perkataan dan perbuatan harus disucikan. Tak boleh berkata kasar saat perjalanan.

Selain itu, orang cuntaka, wanita haid, menyusuai, anak yang belum tanggal gigi susu sebaiknya jangan dulu masuk pura atau bersembahyang ke pura setempat. Jero Mangku mengatakan, pernah ada rombongan orang sembahyang naik Isuzu dari Negara. Rupanya, sebelum ke Lempuyang rombongan itu melayat orang meninggal lebih dahulu. Mobil rombongan itu pun jatuh terperosok karena tak bisa naik di tanjakan sebelah atas rumah Mangku Pasek. ''Saya dengar salah seorang rombongan sudah mencegah agar jangan langsung ke Pura Lempuyang, tetapi saran itu tak gubris,'' ujar Jero Mangku.

Selain sejumlah larangan itu, juga umat yang hendak ke Lempuyang Luhur juga tidak diperkenankan membawa perhiasan emas. Soalnya, umat yang menggunakan perhiasan emas, perhiasan itu kerap hilang misterius. ''Membawa atau makan daging babi saat ke Lempuyang Luhur juga sebaiknya tak dilakukan, karena daging babi itu terbilang cemer. Pantangan ke Pura Lempuyang, hampir sama dengan ke Pura Luhur Batukaru,'' kata lulusan APGAH ini.

Jero Mangku mengatakan, masyarakat dan umat yang naik ke Gunung Lempuyang diharapkan tak berbuat buruk, seperti mengambil tanaman, melakukan corat-coret di jalan atau di pura. ''Sampah terutama sampah plastik hendaknya dibawa atau dibuang di tong sampah yang tersedia. Berbakti kepada Tuhan bukan cuma lewat sembahyang, tetapi juga dengan jalan karma marga seperti menjaga kebersihan lingkungan alam atau pura,'' katanya.

Jero Mangku mengatakan, belum pernah ada orang yang menghitung pasti berapa sebenarnya jumlah tangga naik ke Pura Luhur yang berketinggian lebih dari 1.174 meter. Ada yang mengatakan 1.750 tangga, ada juga yang mengatakan 1.800.

Sementara itu, dosen STKIP Agama Hindu Amlapura Drs. IP Arnawa, S.Ag. M.Si. mengatakan, cuma bersembahyang --insidental -- ke Pura Lempuyang Luhur disebutkan tak harus melakukan pelukatan saat masuk pura. Soalnya, selain ke Lempuyang Luhur umat bisa melukat di pesucian Telaga Mas, saat naik menuju Pura Luhur yang tinggi berbagai kotoran tubuh juga berangsur disucikan. Soalnya, ribuan kali menghela napas seperti saat pranayama, keringat keluar. ''Sembahyang sampai ke Pura Lempuyang Luhur merupakan pendakian spiritual. Umat yang benar-benar niatnya kuat dilandasi Tri Kaya Pasisudha yang mampu dengan mudah mampu mencapai Pura Luhur. Jika ragu-ragu atau tak tulus bisa terjadi halangan, seperti kepayahan bahkan terjatuh di jalan,'' ujar Arnawa.

Empat Jalur

Sesungguhnya ada empat jalur/rute untuk mencapai Pura Lempuyang Luhur. Berdasarkan buku yang disusun Dinas Kebudayaan Bali (1998), bisa lewat Desa Purwayu. Dari rute ini bisa melewati Pura Penyimpenan, Penataran Agung, Telaga Mas, Pasar Agung barulah ke Lempuyang Luhur.

Dari jalur melewati Banjar Gamongan, melewati Pura Lempuyang Madya, terus naik ke Pura Telaga Sawang dan Pura Pasar Agung. Sementara dari Banjar Batu Gunung, Desa Bukit melewati Pura Angrekasari, melewati lokasi Tirta Suniamerta, Tirta Jagasatru, Tirta Manik Ambengan, Pura Penataran Silawana Hyangsari, Tirta Sudamala, Tirta Empul, Pura Windusari, Pura Pasar Agung (panyawangan) terus ke Lempuyang Luhur. Jalur terakhir melewati Banjar Jumenang, melewati Pura Penataran Kenusut, Pura Pasar Agung (penyawangan) dan naik ke Lempuyang Luhur. (bud)

Sejarah Pura Lempuyang

Pura Lempuyang terletak belahan timur pulau Bali, bertengger di puncak bukit Gamongan, 22 kilometer dari Amlapura, ibu kota Kabupaten Karangasem. Amlapura sendiri berada sekitar 95 kilometer jauhnya dari Kuta. Pura ini diduga termasuk paling tua di Bali. Bahkan, diperkirakan sudah ada pada zaman pra-Hindu-Buddha yang semula bangunan suci yang terbuat dari batu.

Dalam konsep Dewata Nawa Sanga (Sembilan Dewata yang menguasai sembilan mata angin), pura ini merupakan sthana Dewa Iswara. Pura ini dibagi menjadi tiga mandala dari bawah ke atas yakni Lempuyang Sor, Lempuyang Madya dan Lempuyang Luhur. Dari ketiganya, pura Lempuyang Luhur berada pada posisi yang tertinggi.

Berdasarkan lontar Markandeya Purana, Pura Lempuyang didirikan oleh Rsi Markandeya sekitar abad ke-8 M. Pada saat itu Rsi Markandeya membuat sebuah pesantrian untuk keperluan persembahyangan sekaligus membabarkan ajaran Hindu. Pesantrian tersebut diperkirakan berada pada lokasi Pura Lempuyang Madya saat ini, di mana di sini beliau dikenal sebagai Bhatara Gnijaya.

Hingga saat ini masih sangat sulit untuk mengungkapkan sejarah Pura Lempuyang secara jelas. Soalnya data-data yang kuat sukar didapatkan. Sejauh ini baru diperoleh data-data mengenai Pura Lempuyang Luhur. Itu pun sifatnya tidak langsung. Dari sumber-sumber tersebut, ada dua hal yang sama-sama disebutkan yaitu Gunung Lempuyang dan Sang Hyang Gnijaya. Di dalam bahsa Jawa kata Lempuyang berarti gamongan gunung Lempuyang berarti gunung gamongan atau bukit gamongan sebagaimana disebutkan dalam sumber lainnya lagi yakni lontar Kusuma Dewa. Yang pasti, berbagai sumber kuno menyebutkan bahwa pura Lempuyang merupakan satu dari tiga pura besar selain pura Besakih dan Pura Ulun Danu Batur.

Ada sejumlah pantangan memasuki pura ini. Pantangan yang jika dilanggar bisa berakibat buruk. Pantangan tersebut adalah berkata kasar saat dalam perjalanan menuju pura Lempuyang Luhur.

Selain itu, perempuan yang sedang menstruasi, menyusui, anak yang belum tanggal gigi susu belum diperbolehkan masuk ke dalam pura apalagi bersembahyang di sana dan juga bagi umat yang hendak bersembahyang tidak diperkenankan membawa perhiasan emas dan membawa daging babi ke areal Pura Lempuyang Luhur.

Satu yang menarik dan merupakan keistimewaan Pura Lempuyang Luhur adalah di tengah pura tersebut terdapat serumpun bambu jenis kecil. Setelah bersembahyang, batang pohon bambu itu dipotong oleh Pemangku untuk mendapatkan air suci yang disebut dengan tirtha pingit. (jjb)

Sejarah Pura Besakih

Masyarakat dunia mengenal Bali dengan sebutan pulau “seribu Pura” hal ini tidak terlepas dari banyaknya bangunan suci ini di setiap jengkal tanah Bali, salah satunya adalah Pura yang sangat disucikan oleh umat Hindu yaitu pura Besakih. Pura Besakih ini terletak di desa Besakih, kecamatan Rendang, sebelah barat daya Gunung Agung sekitar 44 Km dari Amlapura dan 62 Km dari Denpasar. Menurut sejarahnya, pura ini dibangun di suatu desa suci yang disebut “Hulundang Basukih” yang kini dikenal dengan sebagai desa Besakih. Nama Besakih sendiri diambil dari kata “Basuki” atau dalam naskah kuno ditulis sebagai “basukir” atau “Basukih”, sedangkan kata Basuki sendiri diambil dari kata Sanskerta “wasuki” yang berarti “penyelamat”. Dalam mithologi Samudramanthana disebutkan bahwa Basuki adalah nama naga yang melingkari Gunung Mandara.

Sementara itu, sebuah cerita kuno menyebutkan bahwa pura Besakih dibangun oleh Rsi Markandya dan pengikutnya sekitar abad ke-11. Pada waktu itu, Rsi Markandya ingin pergi ke Gunung Agung untuk membangun tempat peristirahatan. Namun, proses pembangunannya tertunda karena banyak dari para pengikutnya yang meninggal dunia. Melihat hal itu, maka Rsi Markandya kemudian membuat sebuah tempat pemujaan terhadap Tuhan sebagai penyelamat . Tempat pemujaan itu kemudian disebut sebagai “sanggar Basuki”. Banyaknya peninggalan zaman megalitik seperti Menhir, tahta batu, dan struktur teras pyramid yang ditemukan di area pura Besakih menunjukkan bahwa tempat ini adalah tempat yang amat disucikan jauh sebelum adanya pengaruh agama Hindu masuk ke Bali. Kompleks pura Besakih terdiri dari satu pura pusat (pura penataran agung besakih) dan 18 pura pendamping (1 pura Basukian dan 17 pura lainnya). Di pura Basukian inilah tempat pertama kalinya Rsi Markandya menerima wahyu Tuhan, hal inilah yang kemudian menjadi cikal bakal agama Hindu Dharma di Bali. Pura Besakih merupakan pusat kegiatan dari seluruh pura yang ada di Bali, di antara semua pura-pura yang termasuk dalam kompleks pura Besakih, pura penataran agung adalah pura yang terbesar yang paling banyak memiliki bangunan palinggih, dan jenis upacara. Selain itu, Pura penataran Agung ini pun merupakan pusat dari semua pura yang ada di kompleks pura Besakih. Di tempat ini terdapat 3 padma sebagai simbol stana dari sifat Tuhan Tri Murti yaitu dewa Brahma (dewa pencipta), dewa Wisnu (dewa Pemelihara), dan dewa Siwa (dewa pelebur/ reinkarnasi).(gi)

Sejarah Pura Tanah Lot

Pura agung Tanah Lot merupakan pura yang paling terkenal bagi wiraswastawan, banyak pengunjung datang ke pura ini untuk melihat keindahan alam yang ada di sana. Sebuah pura yang didirikan di atas sebuah batu karang yang berada terpisah dari pulau utama, meski jaraknya hanya berkisar 50 m saja, namun saat ombak pasang dan air laut naik, keindahan pura ini baru terlihat, seperti sebuah perahu yang mengapung diatas ombak laut.

Sejarah pulau ini tak lepas dari pendirinya yakni Danghyang Nirarta, seorang baghawan dan resi sakti yang berasal dari kerajaan Majapahit. Beliau dikenal karena menyebarkan ajaran agama Hindu ke Bali atau dikenal sebagai “Dharma Yatra”. Pertama kali beliau datang ke Bali sampai di Rambut Siwi, dan saat berada sana, tiba – tiba ia melihat cahaya sinar suci yang muncul dari arah tenggara, sehingga ia pun mencari cahaya tersebut. Dan ternyata cahaya tersebut berasal dari sebuah mata air. Dan ia juga menemukan sebuah tempat yang sangat indah yang ia beri nama “Gili Beo” yang artinya batu karang. Dan mulailah ia bersemedi di tempat itu dan memulai penyebaran agama Hindu di kalangan penduduk yang saat itu masih monotheisme.

Daerah yang ia tempati bernama desa Beraban., dan dikuasai oleh seorang pemimpin yang sakti bernama Bendesa Beraban Sakti. Dan karena Resi Danghyang Nirarta mengajak penduduk desa itu untuk memeluk agama Hindu sang pemimpin akhirnya marah dan berusaha mengusir baghawan ini. Sang resi yang tidak mau terjadi pertumpahan darah akhirnya melindungi diri dengan memindahkan tanah berkarang ke tengah lautan dan ia membuat perlindungan dengan menciptakan banyak sekali ular dari selendangnya.

Melihat kesaktian dari sang baghawan , Bendesa Beraban Sakti akhirnya mengalah dan menjadi pengikut setia Danghyang Nirarta. Dan bahkan ikut menyebarkan agama hindu ke desa – desa lain juga. Dan sebelum meninggalkan desa tersebut ia meninggalkan warisan yang berupa keris yang deberi nama “ Jaramenara/ Ki Baru Gajah” dan pulau karang tempat ia melindungi diri tersebut ia beri nama “Tengah Lot’ yang berarti tanah di tengah laut.para penduduk yang menghormati beliau akhirnya membangun sebuah pura yang sekarang dikenal sebagai Pura Agung Tanah Lot.

Dan kalau anda datang ke tempat ini anda akan menemukan sebuah fenomena alam yang menarik dimana di bawah kaki pura yang dikelilingi samudra luas dengan airnnya yang asin, terdapat sumber mata air yang berasa tawar, dan tidak pernah kering meskipun musim kemarau. Mata air keramat yang ditemukan sang Resi Danghyang Nirarta inilah yang dikeramatkan oleh pemeluk agama hindu dan setiap pengunjung bisa juga meminta airnya dengan cara mencuci muka di Tanah Lot atau meminum airnya yang menyegarkan.

Dan ular – ular yang pernah melindungi sang resi masih tetap berada di sana sampai sekarang dan dipercaya melindungi Tanah lot. Anda bisa juga menyentuh tubuh ular sakti penjaga Tanah Lot yang dijaga di lubangnya oleh pemangku adat setempat.

Sejarah Pura Rambut Siwi

Cerita ini dimulai ketika ida maharsi markandia bertapa di gunung raung jawa. Pada waktu beliau bertapa digunung raung jawa, beliau melihat sinar suci yang berasal dari suatu daerah (yang nantinya dikenal dengan bali). Singkat cerita, sesuai dengan petunjuk maka kemudian beliau menelusuri ke tempat sinar itu muncul. Kemudian berangkatlah beliau menuju ke bali. Perjalanan pertama beliau dari jawa menuju bali adalah masuk lewat pantai (yang sekarang menjadi lokasi pura rambut siwi). Sesampainya ditempat ini kemudian beliau beristirahat beberapa hari sambil beliau mencari petunjuk kearah mana beliau harus berjalan. Selama beristirahat di tempat ini, beliau senang duduk di sebuah tebing yang agak menjorok ke laut. Kenapa beliau senang duduk di tempat ini karena dari tempat ini beliau bisa mengamati keseluruhan hamparan pesisir pantai barat bali. Dari tempat ini akan bisa dilihat jika ada perahu atau orang yang mau masuk ke bali lewat pantai bali barat. Selama bertapa beberapa pekan di lokasi tebing ini (posisi tebing ini sekarang ada di tebing depan pura melanting yang ada dikomplek pura rambut siwi), beliau mendapat petunjuk dari sanghyang jagatnata (alam semesta) tentang pulau bali. Isi petunjuknya adalah pulau bali merupakan pulau yang sangat suci tempat stana para dewa-dewi, hal inilah yang menyebabkan pulau ini susah bisa dimasuki/didiami oleh manusia, oleh karena ida maharsi markhandia telah diundang sebagai orang pertama yang diijinkan masuk kebali untuk menata pulau bali, maka untuk melindungi pulau bali dari orang-orang yang mencoba mengikuti perjalanan ida maharsi markandia, maka sanghyang jagatnata(alam semesta) menitahkan ida rsi untuk membuat pelindung/benteng dipantai bali barat sehingga hanya orang-orang yang mendapatkan izin dari alam bali saja yang akan bisa masuk ke bali. Kemudian ida rsi bertapa di tebing ini memuja dewa wisnu dan dewa baruna yang menguasai lautan. Karena ketulusan dan ketekunan tapa beliau akhirnya doa ida rsi markandea dikabulkan oleh para dewa yang berstana dilautan. Sekonyong-konyong, disepanjang tengah laut barat bali kemudian muncul jaring-jaring seperti jaring net untuk bola voli yang bersinar seperti nyala lidah api. Jaring-jaring ini terbuat dari rumput laut (dibali dikenal dengan bulung rambut) yang dijalin/dirangkai seperti jaring. Jaring ini berfungsi sebagai filter untuk orang yang akan masuk ke bali. Jika orang pantas masuk ke bali maka jaring net ini akan turun ke laut sehingga orang bisa masuk ke bali. Jika orang tidak pantas masuk ke bali maka jaring ini akan naik ke atas sehingga akan terjadi fenomena dilautan sehingga orang/perahu yang mencoba masuk tidak akan bisa menyeberang. Fenomena inilah yang kemudian membuat ida rsi markhandia menamakan tempat ini sebagai Rambut Siwi yang artinya jalinan/untaian rumput laut yang berbentuk seperti rambut. Karena kekuatan tapa dalam melindungi laut barat bali inilah maka ida maharsi markandia kemudian diberi gelar Sanghyang Baruna Gni. Dan laut dipantai bali barat diberikan nama Dalem Segara Gni.Saya bercerita ini bukanlah suatu karangan akan tetapi kisah nyata. Jika ada cerita tentang perjalanan ida peranda sakti wawu rauh terkait dengan rambut siwi, itu tidak lebih seperti orang jaman sekarang yang melakukan tirta yatra ke suatu pura. Dan sesuai dengan babad dwijendra tattwa yang mengisahkan perjalanan peranda sakti wawu rauh, di dalam babad itu jelas diceritakan bahwa ketika peranda sakti wawu rauh sampai ke lokasi pura rambut siwi sekarang, saat itu sudah ada pura disana itulah pura peninggalan ida maharsi markhandia. Mudah-mudahan dengan cerita ini para semeton warga bhujangga waisnawa tidak akan lewat begitu saja ketika melewati pura rambut siwi.

Sumber : Guru Made Dwijwndra Sulastra.
Pesraman : Teledu Nginyah - Jembrana.