Jumat, 18 Desember 2009

Proposal Candi Bentar Pura Kerta Bumi

P R O P O S A L

PEMBANGUNAN CANDI BENTAR


PURA KERTA BUMI

DUSUN BONGSO WETAN, DESA PENGALANGAN

KECAMATAN MENGANTI, KABUPATEN GRESIK

JAWA TIMUR



Sekretariat:
Pura Kerta Bumi

Dusun Bongso Wetan, Desa Pengalangan, Kecamatan Menganti, Kabupaten Gresik

Telp. (031) 7407218

HP: (031) 71047941, 08580397777









BAB I
LATAR BELAKANG PURA KERTA BUMI



Pura Kerta Bumi telah mengalami pembangunan secara bertahap demi sempurnanya suatu tempat ibadah ini, namun karena belum tersedianya dana yang cukup untuk melaksanakan konstruksi / pembangunan / penyempurnaan maka pembangunan pura mengalami hambatan. Melalui proposal ini, segenap Panitia Pembangunan Pura khususnya dan seluruh umat hindu Dusun Bongso Wetan pada umumnya bermaksud menggalang dana punia kepada seluruh saudara-saudara / komponen umat Hindu maupun para donatur lainnya untuk dapat memberikan bantuan demi kelancaran pembangunan ini.


Atas Asung Kertha Wara Nugraha Ida Hyang Widhi Wasa semoga niat yang luhur ini mendapat pertolongan dari semua pihak dalam mencapai tujuan yang mulia.

BAB II
TUJUAN DAN SASARAN

II.1. Tujuan Pembangunan dan Penyempurnaan Pura


Dengan adanya tempat suci / tempat ibadah (Pura) yang lengkap dimaksudkan supaya umat hindu khususnya di Dusun Bongso Wetan dapat meningkatkan Sradha dan Bhakti kepada Ida Hyang Widhi Wasa.


II.2. Sasaran Pembangunan dan Penyempurnaan Pura


1). Terwujudnya pembinaan keagamaan yang baik melalui pura terhadap masyarakat Hindu, siswa-siswi, karyawan, dan guru agama Hindu sekaligus sebagai sarana komunikasi sosial agama.


2). Terwujudnya sarana kegiatan dharma, kesenian, upanisad keagamaan dan sebagainya yang dapat memperkuat sradha dan bhakti serta cinta terhadap Ida Hyang Widhi Wasa.


BAB III
ORGANISASI KEPANITIAAN


III.1. Susunan Kepanitiaan


A. Pelindung


Parisada Hindu Dharma Indonesia Kabupaten Gresik

B. Penasehat

1. Sardji
2. Drs. Mulyadi, M.Si
3. Satiman

C. Panitia Inti

Ketua : Matasim
Wakil ketua : Wongso Negoro, SE., SH., M.Si
Sekretaris : Karsiyan
Bendahara : Asno
Susunan lengkap kepanitiaan dapat dilihat pada halaman lampiran.





PENUTUP


Demikian proposal singkat ini disusun untuk keperluan yang berkaitan dengan pembangunan penyempurnaan Pura Kerta Bumi, Dusun Bongso Wetan, Desa Pengalangan, Kecamatan Menganti, Kabupaten Gresik, Jawa Timur. Semoga proposal ini meskipun sederhana dapat memberikan informasi awal yang diperlukan untuk sekedar gambaran mengenai rencana pembangunan pura yang sangat kami perlukan.


Gresik, 28 Nopember 2009

Hormat Kami,

Panitia Pembangunan Candi Bentar

Matasim

Ketua

Mengetahui,

Ketua Parisada Desa Pengalangan Ketua Parisada Kecamatan Menganti

Suhanadi Sa’i

Ketua Ketua

Parisada Kabupaten Gresik

Ketut Ariasna

Ketua


REKAPITULASI ANGGARAN PEMBANGUNAN CANDI BENTAR
PURA KERTA BUMI
DUSUN BONGSO WETAN, DESA PENGALANGAN
KECAMATAN MENGANTI, KABUPATEN GRESIK
JAWA TIMUR

No.

Keterangan

Anggaran (Rp)

1.

Pondasi Candi Bentar

Rp. 50.000.000,-

2.

Candi Bentar tinggi 7 meter

Rp. 150.000.000,-

3.

Padaraksa

Rp. 50.000.000,-

4.

Tembok Penyengker

Rp. 30.000.000,-

Total Anggaran

Rp. 280.000.000,-



Gresik, 28 Nopember 2009

Hormat Kami,

Panitia Pembangunan Candi Bentar

Matasim

Ketua


Dharma Yatra Yayasan Padma Siwa Buana

YAYASAN PADMASIWA BUANA, akamn melakukan Dharma Yatra ke Gunung Bromo, Pra Kertha Buana, Pura Segara Kenjeran Surabaya Dan mengunjungi Jembatan Suramadu, Tgl 17 Desember Pk. 19.00 Berangkat Dari Bali menuju Pulau Jawa sampai dengan tgl 20 Desember 2009. Pengikut Kali ini brjumlah 100 orang yang terdiri dari berbagai kalangan dan profesi.
Dalam perjalanan kali ini diikuti oleh Ida Pedanda Oka Telabah Serta Ida Pedanda istri. Dalam Kegiatan nanti setelah sembahyang di Gunung Bromo, akan dilanjutkan ke Pura di Gersik. Di Pura Ini akan dilangsungkan prosesi pembersihan angga sarira, yang ana dalam prosesi ini akan bermanfaat sekali bai umat yang pernah mengalami cuntaka atau kegeringan ( Sakit ), dengan upacara pembersihan angga sarora ini mudah - mudahan para peserta/ umat yang mengikutinya mendapatkan ketengan jiwa, sehingga dapat dengan mudah isa mendekat diri dengan Ida Sanghyang Widi Wase, Hal ini jarang orang bisa melakukannya, karena lontar - lontar yang menyebutkan prosesi ini jarang yang memilikinya. Bagi umat yang berminat selain dalam kesempatan ini, kami dari Yayasan Padma Siwa Buana, bersedia membantu umat membersihkan angga sarira dari kejauhan , dengan terlebih dahulu menghubungi kami leawat E- mail.
Hal ini akan sangat bermanfaat sekali bagi umat yang tidak memilii keseimbangan jiwa, karena dari hasil pengalaman banyak sekali yang berhasil setelah mendapat mimbingan spiritual semacam ini. Dalam mengukuti prosesi ini umat diharapkan :lascrya : atau berserah diri, kemudian yakinkan diri anda segala permasalahan yang anda hadapi dapat terselesaikan.
Upakara dalam pembersihan angga sarira, hanya memerlukan Banten penyepuhan dan kelapa gading ( bungkak nyuh gading ) dan air suci. Untuk menekan biaya upacara ini bisa dilakukan secara masal'
Mudah - mudahan tidak ada hal - hal yang nerintangi, kami akan lakukan acara seprti ini sebulan sekali, di pesrsmsn, atau pura - pura yang ada di Bali,

Semakin sering melakukan pembersihan angga sarirs. semakin baik angga sarra kit, sehingga sedikit demi sedikit, karma/ dosa kita bisa terhapuskan.

Madura Hindu Merayakan Nyepi (1)

Madura namun Hindu. Inilah yang membuat penduduk Dusun Bongso Wetan menjadi unik. Selama ini, mayoritas di antara kita mengasosiasikan suku Madura dengan agama Islam. Kita bahkan seolah yakin bahwa suku Madura takkan ada yang beragama selain Islam. Namun di dusun yang berhimpitan dengan Kelurahan Made, Kecamatan Sambikerep, Surabaya ini, terdapat 223 kepala keluarga (KK) atau sekitar 800-an jiwa etnis Madura beragama Hindu. Mereka juga mempunyai pura besar di kampungnya.

Rabu (25/3) malam, Dusun Bongso Wetan berpesta. Ratusan orang memadati Pura Kertha Bumi. Yang laki-laki gagah dengan udengnya. Udeng yang dipakai bukan motif Madura tapi Bali. Sebagian berbusana lengkap termasuk kemeja dan sarung khas persembahyangan. Sebagian lagi memang berudeng, namun bawahannya hanya kaos atau sarung biasa yang lazimnya dipakai umat Muslim untuk salat.

Sementara, para perempuan tampil dengan aneka baju terbaru mereka, mayoritas memilih kain dan kebaya. Yang pasti, baik laki-laki maupun perempuan mengikatkan selendang di pinggangnya. Bau parfum jamaah berbaur dengan wangi dupa dan bunga.

Magrib baru saja datang. Enam ogoh-ogoh yang paginya diikutsertakan dalam tawur agung di Tugu Pahlawan, Surabaya, petang itu sudah berdiri di halaman pura. Ogoh-ogoh adalah patung aneka rupa, namun kesemuanya mewakili figur-figur makhluk halus jahat.

“Ogoh-ogoh ngelambangagin kejahatan i dunnyah se koduh imusnaagin. Karna ruah ogoh-ogoh iobber neng akhir upacara tawur agung (Ogoh-ogoh melambangkan kejahatan di dunia yang harus kita musnahkan, karena itu di akhir tawur agung mereka dibakar),“ kata Saptono (52) dalam bahasa Madura yang lancar. Ayah empat anak ini adalah salah satu pemangku (modin Hindu) di Dusun Bongso Wetan.

Di bagian dalam pura, umat melakukan persembahyangan. Setelah memercikkan tirta suci di gerbang dalam pura, mereka mengikuti jemaah lain yang lebih dulu melantunkan puji-pujian dan doa.

Tak lama setelah isya, pawai ogoh-ogoh dimulai. Saptono berdiri paling depan dengan lima pemangku (modin Hindu) lainnya. Setelah memercikkan tirta suci ke enam ogoh-ogoh, mereka membunyikan genta tanda dimulainya pawai ogoh-ogoh.

Di belakang para pemangku, ibu-ibu dalam balutan baju persembahyangan menyunggi sesaji. Lebih ke belakang, barisan pemuda membawa panji-panji diikuti barisan anak-anak pembawa obor, lalu para pemuda yang memanggul keenam ogoh-ogoh. Terakhir, kru pembawa gamelan dan mobil pengangkut sound system-nya. Ratusan orang ikut dalam pawai ini. Sebagian berasal dari luar Bongso Wetan.

Lepas dari gang tempat Pura Kertha Bumi berada, rombongan melakukan pusaran. Mereka berkeliling sebelum akhirnya memasukkan sebagian sesaji ke dalam sanggar cucuk --anyaman janur berbentuk rumah—yang ditancapkan di pertigaan itu.

Setelahnya, rombongan kembali berpawai. Mereka melintasi jalan-jalan di Dusun Bongso Wetan dan Bongso Kulon. Rombongan berhenti di tiap pertigaan dan perempatan. Di tempat-tempat itu mereka menggelar ritual pecaruan atau membujuk makhluk halus agar tidak mengganggu manusia.

“Dalam kepercayaan Hindu, pertigaan, perempatan, dan belokan adalah tempat-tempat yang disukai makhluk jahat. Kita perlu melakukan upacara pecaruan untuk menghindari celaka,“ kata salah satu tetua masyarakat Hindu Bongso Wetan.

Dalam pawai ogoh-ogoh inilah kerukunan masyarakat Bongso Wetan terbukti bukan sekadar klaim.

Rombongan pawai justru menjadi hiburan bagi sekitar 50 persen warga Bongso Wetan lainnya yang Muslim. Mereka menonton para pemuda Hindu menggoyang-goyang dan memutar-mutar ogoh-ogoh di pertigaan sebagai perlambang perlawanan terhadap makhluk halus jahat di dekat masjid warga Muslim Bongso Wetan.

“Soal kerukunan ini memang menjadi kebanggaan dan kebahagiaan kami. Meski kami ini berbeda agama, kami Hindu dan mereka Muslim, namun kami tak pernah bertengkar. Apa guna pertengkaran?“ kata peserta pawai lainnya.

Kata-kata lelaki yang biasa menjadi sopir bemo di Surabaya ini seperti gayung bersambut dengan spanduk perayaan Nyepi yang bertuliskan, “Mari kita ciptakan kedamaian di dalam hati, kedamaian di dunia, dan kedamaian selamanya“.

Penjor dan Gapura

Dusun Bongso Wetan tampak tak berbeda dibanding desa-desa lain di Gresik Selatan. Mayoritas warganya adalah petani. Selain padi, tanaman pare menjadi produk andalan dusun ini. Dilihat dari rumah penduduknya, dusun ini tergolong cukup sejahtera. Mayoritas rumah warga berdinding tembok, bahkan banyak pula yang dilapis keramik aneka motif. Model bangunannya pun banyak yang mengadopsi gaya Eropa dengan banyak pilar dan balkon. Di beberapa rumah bukan hanya tersimpan sepeda motor, namun juga mobil, dari truk pikup hingga kelas jeep. Sedikit saja rumah yang masih berdinding kayu, apalagi gedhek (anyaman bambu).

Sekilas, rumah-rumah warga tampak sama. Namun bila diperhatikan lebih seksama, ada ciri khas yang tak mudah dikenali. Sebagian rumah memiliki pagar, gerbang, atau dinding yang dihiasi gapura. Ada yang sekadar motif, ada pula yang mewujud dalam bentuk gapura atau candi mini.

Nah, di rumah-rumah dengan ciri itulah 223 kepala keluarga (KK) atau sekitar 800 jiwa pemeluk Hindu tinggal. Tepatnya, pemeluk Hindu beretnis Madura. Di pojok-pojok rumah mereka terdapat sudut persembahyangan.

“Kami yang menganut Hindu ini mencapai 50 persen dari total penduduk Dusun Bongso Wetan, sedangkan 50 persen lainnya Muslim,“ kata Saptono.

Selain di Bongso Wetan, etnis Madura juga tinggal di Dusun Pengalangan dan Sumur Geger. Hanya saja, warga Madura di kedua dusun itu hampir semuanya Muslim. Sementara tiga dusun lain di Desa Pengalangan, yakni Dusun Bongso Kulon, Dukuh, dan Songgat semuanya didiami etnis Jawa.

Di hari-hari besar Hindu, rumah warga di Dusun Bongso Wetan dipercantik dengan penjor, canangsari, dan sanggar cucuk.

Penjor, tiang bambu berhias ukiran dari janur, melambangkan ketinggian Gunung Mahameru. “Itu simbol keagungan Tuhan,“ kata Saptono.

Sementara canangsari, wadah dari janur berisi persembahan seperti buah, bunga, air dan dupa, adalah perlambang rasa syukur. “Sanggar cucuk adalah anyaman janur berbentuk rumah. Di sanalah kami letakkan canangsari atau persembahan kami,“ katanya.

Bukan hanya rumah yang kian meriah, pura pun makin ramai di hari-hari besar Hindu. “Di hari biasa, kami sembahyang ke pura 3 kali sehari, yakni pagi, siang, dan petang. Itu dilakukan sendiri-sendiri atau sekeluarga. Namun sembahyang saat hari raya, misalnya Nyepi, umat melakukannya bersama-sama hingga meriah,“ kata Saptono.

Madura Hindu Merayakan Nyepi (2)

Tawur Agung, ritual penghancuran makhluk jahat menjelang pelaksanaan catur brata penyepian, dianggap Pemangku Saptono sama dengan takbiran dalam konteks masyarakat Muslim. Pemangku adalah modin untuk umat Hindu.

Tawur agung dilaksanakan menjelang hari raya, yakni Nyepi. Inti tawur agung ada dua, yakni pembakaran ogoh-ogoh yang melambangkan kekuatan jahat di dunia, serta mengagungkan Tuhan. “Sama dengan takbiran, kan?” kata Saptono.

Hari setelah pelaksanaan tawur agung adalah Nyepi atau peringatan tahun baru Saka yang saat ini ada di posisi 1931. Sejak Kamis (26/3) pukul 05.00 warga Hindu berpuasa dan baru berbuka pada Jumat (27/3). Puasa ini disebut catur brata penyepian (empat puasa nyepi). Keempat puasa itu adalah amati geni (tidak menyalakan lampu dan alat penerangan lain), amati karya (tidak bekerja dan aktivitas lain), amati lelungan (tidak bepergian), serta amati lelanguan (menghindari suara, termasuk radio dan televisi).

“Tentu masih ada dispensasi. Mereka yang punya balita dan menangis kalau gelap, misalnya, tetap boleh menyalakan lampu. Hanya kalau biasanya memakai lampu listrik yang terang, khusus untuk Nyepi diganti lambu kecil saja,“ kata Saptono.

Setelah puasa 24 jam penuh, pada Jumat pagi, warga Hindu berbuka. Dusun Bongso Wetan dan Bongso Kulon kembali meriah. Warga Hindu di kedua dusun berpesta ngebak geni yang secara harfiah berarti “menyalakan kembali api“.

Setelah bersembahyang di pura, warga Hindu terlibat dalam kemeriahan seperti umat Islam kala Idul Fitri: bersalaman dan makan-makan.

“Kami tidak hanya berkeliling dengan sesama Hindu, namun juga dengan para tetangga yang Muslim. Saat Idul Fitri, tetangga kami yang Muslim juga merayakannya dengan kami,“ kata Saptono. “Tak ada perselisihan karena agama di sini,“ lanjutnya, gembira.

Sederhana Dibanding Bali

Meski sama-sama Hindu, namun sejumlah praktik umat Hindu di Dusun Bongso Wetan tidak persis sama dengan saudara mereka di Bali.

Di Bali, Hari Raya Galungan adalah hari raya terbesar. Sementara bagi umat Hindu di Bongso Wetan, Nyepi adalah perayaan paling meriah.

“Kami hanya sembahyang di pura saja saat galungan, sementara umat Hindu di Bali menggelar upacara besar,“ kata Saptono.

Secara teologis, baik galungan maupun nyepi penting bagi umat Hindu. Galungan adalah hari penciptaan alam semesta, juga lambang kemenangan dharma (kebaikan) dari adharma (keburukan). Sementara, nyepi adalah pergantian tahun yang berarti pergantian dari kealpaan menuju perbaikan.

Secara umum, masyarakat Hindu Bongso menganut kebiasaan ritual yang lebih sederhana dibanding Bali. Warga yang meninggal, misalnya, langsung dikubur. Tidak pernah dilakukan upacara ngaben (mengkremasi jenazah secara Hindu).

“Kami tidak biasa. Lagi pula upacara aben itu sangat mahal,“ kata Saptono. “Sekali aben bisa habis hingga di atas Rp 100 juta. Itu berat bagi kami. Bagi umat Hindu Bali pun demikian. Karena itu banyak yang baru bisa melakukan upacara aben setelah beberapa tahun sejak kematian keluarganya,“ kata ayah 4 anak ini.

Bukan hanya ngaben, upacara pangur pun jarang dilakukan di Bongso. Pangur adalah upacara meratakan gigi taring hingga tak lagi memiliki bagian yang runcing. Ngilu, tentu. Namun, rasa ngilu yang kadang bertahan hingga sepekan itu harus ditanggung untuk melenyapkan runcing taring yang dianggap sebagai perlambang hawa nafsu penggoda manusia pada kejahatan. Dengan pangur, tendensi ke arah kejahatan dan asusila bisa dikurangi.

“Pangur juga bukan upacara yang murah. Beberapa waktu lalu saya dan 2 saudara sepupu saya di-pangur. Biaya yang dikeluarkan sekitar Rp 75 juta,“ kata Yuli, warga Hindu Surabaya berdarah Bali. Upacara pangur-nya juga dilangsungkan di rumah keluarga besarnya di Bali.

Di Bongso ada juga yang menggelar upacara pangur, namun jumlahnya sedikit sekali. Soal ini Samiun (28), pemuda lajang ini yang belum di-pangur ini beralasan terpenting mampu menjaga nafsu. “Percuma bila di-pangur namun tak bisa menjaga hawa nafsu sendiri,“ kata pemuda itu saat ditemui di Pura Kerta Bumi, Dusun Bongso Wetan.

Yang juga berbeda adalah banten alias sesajen. Banten di Bali, dalam kesempatan apa pun, selalu lebih banyak dan beragam dibanding di Bongso. “Tapi itu tidak jadi masalah. Desa kala patra,“ kata Saptono mengutip pepatah yang kurang lebih sama artinya dengan “lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya“.

Tetap Mengaku Madura

Bila identitas kehinduan masih melekat kuat, tidak demikian dengan identitas kesukuan mereka. Saptono memang menyebut dirinya Madura. Namun, ia tidak terlalu memusingkan saat anak-anaknya tidak lagi fasih berbahasa Madura.

Bagi Saptono, itu sekadar konsekuensi dinamika zaman.

“Mereka menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Jawa di sekolah maupun dalam pergaulan sehari-hari,“ kata Saptono. “Karena itu kemampuan berbahasa Madura mereka tak lagi bagus,“ lanjutnya.

Hal itu diakui Purwandi dan adiknya, dua anak Saptono. “Untuk bicara dalam bahasa Madura memang sulit. Namun kami tetap bisa memahaminya,“ katanya dalam bahasa Jawa.

Samiun, seorang pemuda Madura Dusun Bongso Wetan, juga terbata-bata bicara dalam bahasa Madura. Pemuda yang ditemui bermain suling ini bahkan seringkali terdiam saat diajak berkomunikasi dalam bahasa Madura. “Ada sebagian yang saya tidak paham,“ katanya.

Identitas kemaduraan lebih banyak bertahan dalam bentuk pakaian adat. Baju gombor hitam dan kaos lorek putih-merah masih kerap mereka pakai dalam perayaan keagamaan. Saat peringatan melasti dan pawai ogoh-ogoh di Tugu Pahlawan, dua hari lalu, misalnya, mereka memakai pakaian tradisional Madura tersebut. Melasti adalah ritual pembersihan alat-alat di pura. Air bekas penyucian alat-alat pura ini kemudian dilarung di laut sebagai perlambang dibuangnya hal-hal kotor dari dalam diri kita.

Bisa jadi longgarnya identitas kemaduraan ini karena komunitas Madura di Bongso Wetan tidak lagi memiliki keluarga di Pulau Madura.

“Nenek moyang kami memang orang Madura. Namun jangan tanya kami bagaimana sejarahnya mereka bisa sampai di sini. Saya tidak tahu. Orang-orang tua sebelum saya pun tidak tahu,” kata Saptono.

Yang jelas, Saptono dan warga Madura lain di Bongso Wetan tak lagi memiliki keluarga di Pulau Madura. Mereka tidak lagi toron (mudik) ke pulau garam itu.

“Kalau pun ada yang memiliki kerabat di Pulau Madura, itu adalah hasil perkawinan, bukan nasab langsung,” ujar lelaki 52 tahun ini.

Ternyata, bukan hanya dalam hal identitas kesukuan mereka longgar. Dalam hal keagamaan pun mereka tidak terlalu fanatik.

Menurut Saptono, penduduk penganut Hindu dan Muslim saling menghormati. Mereka tidak memaksa anak-anak untuk ikut agama mereka.

“Kami ikut saja apa maunya anak-anak. Mereka ingin tetap Hindu, boleh. Ingin menikah dengan yang Muslim atau berganti agama menjadi Islam pun terserah,” katanya. (*)

Hindu Madura

Munculnya komunitas hindu di kalangan Etnis Madura di dusun Bongso Wetan, Desa Pengalangan, tak lepas dari 'dakwah' komunitas Hindu asal Desa Laban. Timing dakwah itu pas. Ia datang saat sebagian warga di Bongso Wetan sedang 'kosong'.

“Menurut cerita orangtua saya, kami ini belajar agama Hindu dari Pak Jaman asal Desa Laban,“ kata Saptono, salah satu pemangku di Dusun Bongso Wetan. “Munculnya komunitas Hindu di Dusun Bongso Wetan ini memang lebih baru dibanding di Desa Laban,“ lanjutnya.

Selain lebih muda, motivasi warga masuk ke agama Hindu juga sedikit berbeda dari komunitas Hindu di Dusun Laban Kulon, Desa Laban.

Sebagai mantan penganut Islam, warga Dusun Bongso Wetan terhindar dari stigma “pengikut PKI“. Namun, huru hara sekiatr 1965 tak urung membuat warga ngeri. Pembunuhan yang terjadi secara massal di depan mata kepala sendiri membuat wargta yang selamat dari huru hara itu merasa sangat bersyukur. Saat itulah mereka merasa perlu berdekat-dekat dengan Tuhan.

“Seperti ada yang kosong. Kami butuh pegangan,“ kata Saptono.

Saat itu, kata Saptono, warga kembali menekuni agama masing-masing. Dalam kondisi demikian, kelompok Islam abangan seperti tertinggal. “Mau kembali ke Islam, kami malu. Kami juga sudah tidak tahu bagaimana caranya salat, puasa, dan lainnya. Nah, di ketika itu Pak Jaman mengajak kami mendalami agama Hindu. Eh, dirasa-rasa kok cocok juga. Jadilah kami penganut Hindu, sampai sekarang,“ lanjutnya.

Di Dusun Bongso Wetan, hampir 50 persen warganya adalah penganut Hindu, sisanya tetap menganut Islam.

Saptono tidak tahu kapan persisnya Etnis Madura tinggal di Desa Pengalangan, termasuk Dusun Bongso Wetan. Dia juga tidak yakin Etnis Madura di sana berasal dari satu induk yang sama. “Pasalnya, Bahasa Madura yang dipakai di Dusun Bongso Wetan, Pengalangan, dan Sumur Geger tidak sama,“ kata Saptono.

Yang diketahui Saptono, pemula warga Madura di sana bernama Nyai Mailani. Kuburan tetua masyarakat Bongso Wetan ini masih sering dikunjungi warga, baik yang Hindu maupun Islam. Bisa jadi kesamaan asal usul ini yang membuat warga Bongso Wetan tidak terpecah karena perbedaan agama.

“Tidak ada sikap yang adu kuat mempertahankan agamanya. Perkawinan antara yang Hindu dan yang Islam cukup sering juga, biasanya salah satu mengalah,“ kata Saptono. “Anak saya pun, kalau dia ingin memeluk agama Islam juga tidak apa-apa,“ tegasnya. spd

Padmasana Pura Kerta Bumi